Senin, 05 Desember 2011

Teladan dan Kaderisasi (1)


Keteladanan Rasulullah, ikuti dan teladanilah..

 Awalnya saya menginginkan kajian tentang Kaderisasi di masa Rasul sebagai tulisan saya di segmen ini. Tetapi, saya tidak mungkin mengkaji jauh tentang kaderisasi bila komponen utama dari kaderisasi yakni keteladanan saja tidak ter-saji-kan dan tidak ter-kaji-kan. Karenanya saya memulai dari keteladanan itu dulu ya..

Tergelitik dari sebuah ceramah Jumat 2 Desember 2011 di sebuah masjid wilayah Keputih II A, ada kalimat lantang yang diucapkan sang Khatib tentang Rasulullah sebagai Uswatun Khasanah. Teladan itu contoh, panutan, guru (diguGU lan ditiRU), dan model.

Apakah itu model? Model adalah contoh yaitu sesuatu yang mewakili atau menggambarkan yang akan dicontoh. Jadi model adalah contoh sederhana dari system yang menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan. Penyederhanaan dari system sangat penting agar dapat dipelajari dengan seksama dan rinci.  

Sebagai model, Rasulullah merupakan tempat mencontoh yang terbaik. Itupun tertuang dalam surat Al-Ahzab : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21) Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : “Ayat ini merupakan kewajiban besar dalam bersuri teladan kepada Rasulullah SAW baik ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475).

Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.

Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.

Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.

Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau, ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu). Smile..

Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaitan dengan Ittiba' seperti :
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’: 80).
“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’: 13)…
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm : 4).

Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah : “Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).

Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah, akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.

Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Rasulullah s.a.w) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang.
Share

4 comments:

Aldo K. Wachyudi mengatakan...

Subhanallah bagus sekali mas :)

MUSTAQIM SIGA mengatakan...

besok penataran dan kaderisasi ala Rosul, thararaaarank you...... hihihi..

mustaqim siga mengatakan...

topik kaderisasinya..............

mustaqim siga mengatakan...

topik kaderisasinya..............