Rabu, 21 Desember 2011

ideologi serigala..................



Setia kawin eh………….eh setia kawan (1)

Alkisah di suatu senja, terlihat seorang pemburu memasuki hutan untuk berburu sekawanan rusa. Terlihat dia seorang pemburu yang sudah kawakan, sehingga dengan mudahnya dia langsung memahami pergerakan beberapa buruan dan langsung saja memahami seluk beluk hutan tersebut.

Tanpa disengaja, dilihatnya seekor serigala betina yang sedang menyantap daging kelinci, dengan seketika diarahkan laras senapannya ke serigala betina tersebut dan doorrrrr…….dengan sekejap serigala tersebut jatuh sambil menahan sakit.

Beberapa serigala dari kejauhan tampak berlari mendekati serigala yang tertembak tadi, salah seekor serigala menjilati luka tembak si serigala betina, sedangkan yang lain terlihat didekatnya menjagainya.


Sang pemburu yang melihat dari kejauhan tampak kagum dengan kerjasama yang diperlihatkan sekelompok serigala tersebut, dan dengan rasa penasaran diperhatikannya tingkah laku sekelompok serigala tersebut. Apakah kelompok serigala tersebut tetap menjaga serigala betina tersebut ataukah meninggalkannya?


Ternyata mereka tetap kompak menjaga sang serigala betina yang masih terlihat kesakitan, walaupun malam sudah datang, bahkan sekelompok serigala tersebut seperti tahu tugas mereka masing-masing, ada yang bertugas menjaga, ada yang mencari makanan untuk si serigala betina, dan yang menjilati luka si serigala betina. Sang pemburu pun mendapatkan pelajaran yang berharga dari sekelompok serigala tersebut, yaitu saling menolong dan rasa kesetiakawanan yang luar biasa, yang ditunjukkan mereka kepada serigala betina.


Belakangan ini sejak krisis ekonomi menjatuhkan perekonomian kita dan tantangan hidup makin merajalela, sikap egois dan penghianatan sering sekali kita jumpai di negara ini. Namun apakah dengan sikap seperti ini dapat menghilangkan semua masalah? Tentu saja tidak, malah sikap kesetiakawanan yang murni yang ditunjukkan oleh sekelompok serigala, sangat dibutuhkan untuk menjadi kita menjadi satu keluarga. Ingat !! dengan kebersamaan dan kesetiakawananlah, maka kita bisa berjalan menjadi negara yang kuat dan individu yang bijaksana.

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.


Peristiwa 10 November 1945, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat nasionalisme dan Allahu Akbar, rasa setia kawan menjelma dan bernaung dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.

Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.

Di penghujung tahun 1997, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji “akting” sosial kita terhadap para korban. Keluarga sayapun merasakan beratnya hidup ketika kebangkrutan menimpa di masa itu.
Bersambung ya……………………………………………………

Share

0 comments: