Rabu, 21 Desember 2011

sosialita........sosial di sekitar kita..


Setia kawin eh………….eh setia kawan (2)

Sambungannya ya…………………….
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.


Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.



Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut saya ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengkonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.


Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modern, menurut Hembing Wijayakusuma telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.


Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.


Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.


Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.

Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentuk penyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.

Delapan watak dunia sebenarnya sudah banyak disampaikan dalam wejangan-wejangan yang beredar di sepanjang langgem Jawa.


Pertama, watak bumi, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras.

Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.

“Wacana” kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan.


Kisah semut.....

Di sore hari yang mendung kala itu, ada segerombolan semut yang menempel di ubin tempat saya belajar. Pada saat itu saya tidak sengaja menginjak semut tersebut, merasa kaki sudah dikerumuni semut-semut akhirnya saya bersihkan kaki saya dari semua semut tersebut. Sepintas saya melihat ada seekor semut yang terkena injakan kaki saya, saya pun teringat apa yang di katakan oleh guru saya beberapa tahun yang lalu, bahwa semut adalah hewan yang tidak akan membiarkan temannya mati atau teraniaya di sembarang tempat. Maka pada saat itu saya pun mengamati gerak gerik dari semut yang lain terhadap semut yang terinjak kaki saya sebelumnya. Ternyata benar apa yang dikatakan guru saya. Perlahan-lahan teman-teman dari semut tersebut menghampiri semut yang terinjak kaki saya sebelumnya, mereka pun mempunyai gelagat untuk menolong temannya tersebut dan lama kelamaan semut yang sudah tidak berdaya dibawa ke suatu tempat oleh teman-temannya. Meskipun saya tidak tahu dibawa kemana semut yang sudah tidak berdaya tadi, tapi saya memperoleh suatu pelajaran berharga dari hewan kecil ini yaitu nilai-nilai kesetiakawanan social yang ada antara sesama semut tersebut.


Alangkah indahnya jika manusia mau berpikir bahwa di dunia ini mereka tidak akan mampu untuk hidup sendiri. Berbagi itu menyenangkan, bersahabat itu mengasykkan. Kalau bisa hidup berdampingan kenapa harus hidup terpisah, kalau bisa hidup damai kenapa harus hidup dalam kerusuhan ? Kalau bisa berbahagia kenapa terus memendam kesedihan sendirian ?? Berbagilah kini dan nanti…Allah Maha Kaya kok...... pasti diganti dengan yang lebih baik....

Share

1 comments:

Nasrullah mengatakan...

Ups.mau kawin yaa?