Kamis, 22 Desember 2011

iqro'...


Cak son is right….

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahui mereka” (QS Al-’Alaq [96]: 1-5).

Lupakan tentang kritik pedas Cak Son tentang budaya membaca yang luntur, hilang dan tanpa jejaknya lagi di kehidupan kampus khususnya untuk anak-anak 2011. Lupakan tentang tugas membaca dan meminjam buku dari perpustakaan yang dimintanya. Hal paling pasti yang kita hadapi sekarang ini adalah kurangnya keahlian kita karena kurangnya minat baca diantara kita. Ayat diatas pastinya akan mengingatkan kita tentang pentingnya membaca….


Betapa penting dan vitalnya aktivitas membaca ini dalam dinamika kehidupan umat manusia. Tidak berlebihan memang kalau Allah pun melakukan kebijakan utama dengan menurunkan ayat pertamanya tentang perintah membaca. Namun secara jujur harus diakui, kebijakan semacam itu belum diimbangi dengan langkah serius dan intensif dalam membudayakan aktivitas membaca oleh ummatnya yang berada di akhir zaman ini.


Bagaimana dengan ummatnya di tanah air?? Paradoks kemudian lahir. Apa itu?? Segalanya menjadi sangat sulit. Yang diatas kategori mampu dan berkecukupan sulit sekali membaca karena kekurangan waktu ditengah himpitan arus ekonomi yang semakin cepat, dan yang hidup dibawah kategori itu juga sulit karena semuanya menjadi sangat MAHAL. Hahahaha….. Harga buku masih terbilang mahal untuk ukuran rata-rata kantong masyarakat kita. Demikian juga rata-rata kondisi perpustakaan. Kondisi perpustakaan sekolah rata-rata lebih parah lagi. Sering dibiarkan terpuruk dan tak terurus.

Dalam pandangan ALFATHRI ADLIN, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sebagian besar penduduknya merupakan masyarakat praliterasi yang dihantam oleh gelombang posliterasi (televisi, internet, handphone, dan sebagainya). Mentalitas praliterasi lebih didominasi tradisi lisan atau obrolan. Kelemahan masyarakat praliterasi adalah kecenderungannya memerhatikan efek atau aura dari suatu permasalahan. Hal ini dikarenakan mentalitas praliterasi cenderung tidak menumbuhkan kemampuan berjarak dari suatu fenomena, berefleksi terhadap pengalaman, serta menyusunnya secara sistematis. Manusia praliterasi cenderung reaktif dan spontan.

Persentuhan dengan berbagai media posliterasi tanpa arah malah menghasilkan sikap penggunaan teknologi canggih sebatas untuk ngobrol ngalor-ngidul. Kondisi semacam itu lebih problematis dengan masuknya gelombang posliterasi dalam bentuk negatif dan tidak produktif. Warnet dipenuhi mahasiswa yang kecanduan chatting. Telepon jadi media ngerumpi sinetron dan gosip artis oleh ibu rumah tangga. Handphone memunculkan kebiasaan baru berupa SMS parodi dan konyol (mungkin hanya di Indonesia terbit buku berisi SMS semacam itu dan laku keras). Bukan rak buku, lampu baca atau perpustakaan pribadi yang umumnya jadi pertimbangan masyarakat Indonesia dalam menata rumah, tapi ruang menonton keluarga dan letak televisi yang nyaman. Akibatnya, minat baca yang minim malah terjadi juga di masyarakat literasi Indonesia (yaitu mereka yang bisa mengenyam pendidikan tinggi), ditambah pendidikan yang tidak inspiratif. Hal itu menyuburkan apresiasi dan cara berpikir yang dangkal.

Ironis!!! Persentuhan dan keakraban masyarakat kita terhadap produk-produk posliterasi bukannya menumbuhkan budaya yang positif, melainkan justru melahirkan budaya-budaya “purba” sekaligus mengembalikan naluri bangsa sebagai bangsa yang malas membaca.

Kondisi masyarakat kita yang semacam itu bisa jadi tak jauh berbeda seperti yang disinyalir oleh Emile Durkheim melalui istilah anomie-nya. Satu kaki masih kuat menancap pada akar-akar tradisi dengan berbagai ikon primordialismenya, tetapi kaki yang lain sudah menginjak pada akar-akar modernisasi dengan berbagai ikon globalismenya. Kondisi anomie, disadari atau tidak, telah melahirkan situasi “gegar budaya” yang menimbulkan imbas sejumlah ironi, ambigu, dan kebingungan- kebingungan. Produk-produk posliterasi yang seharusnya makin mengakrabkan masyarakat kita pada aktivitas membaca, tetapi justru melahirkan budaya baru yang makin jauh meninggalkan budaya literasi.

Problem mendasar yang dihadapi bangsa ini sebenarnya juga terletak pada faktor keteladanan. Di tengah-tengah masyarakat kita yang masih kuat nilai-nilai paternalistiknya, orang-orang yang berada di lapisan bawah cenderung akan melihat pada kultur dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berada di lapisan atasnya. Ketika orang-orang yang seharusnya menjadi anutan, orang tua, tokoh masyarakat, atau figur publik lainnya, malas membaca, jangan salahkan kalau orang-orang yang berada di lapisan bawah akan mengadopsi dan mengadaptasi kultur yang iliterate semacam itu. Demikian juga di bangku pendidikan. Bagaimana mungkin para murid memiliki kultur membaca yang baik kalau sang guru tidak mampu menunjukkan keteladanan gemar membaca buku. Bahkan banyak guru yang dengan amat bangga dan merasa dirinya paling hebat kalau di kelas tidak membawa buku.  Materi pelajaran sudah hafal di luar kepala.

Budaya membaca juga sangat erat kaitannya dengan kultur sebuah generasi. Mengharapkan generasi sekarang agar menjadi teladan bagi anak cucunya dalam membudayakan gemar membaca agaknya juga sulit diharapkan kontribusinya. Keterpukauan terhadap produk posliterasi telah melahirkan budaya baru yang makin menjauhkan generasi masa kini untuk gemar membaca. Yang perlu dilakukan sekarang adalah melahirkan generasi baru yang dengan amat sadar menjadikan aktivitas membaca sebagai sebuah kebutuhan (bukan kewajiban).

Sudah amat lama stigma sebagai bangsa yang malas membaca menempel di dalam tubuh bangsa ini. Lahirnya banyak ketimpangan sosial, kebijakan yang salah prosedur, bahkan juga meruyaknya berbagai kebocoran anggaran, saya kira juga disebabkan oleh para pejabat dan elite negeri ini yang malas membaca. Entah sudah berapa kali hal-hal yang fatal terjadi akibat kelengahan kita yang malas membaca.

Ini menjadi PR kita semua untuk melakukan trik dan kiat jitu agar pada setiap lapisan dan lini masyarakat kita muncul budaya INDONESIA MEMBACA. Kita bayangkan pada setiap kelompok dan kerumunan muncul “komunitas membaca” sehingga dengan bekal dan kemampuan membacanya itu bisa ikut berkiprah dalam memecahkan berbagai problem yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsanya.
Share

Rabu, 21 Desember 2011

my other side,


Help Me……………….. support me……….

Rindu suasana hiruk pikuk melayani satker (satuan kerja) seperti dulu, tanpa deadline “seminggu lagi harus ngumpulin presentasi, final project, animasi matematis, data mining, kalkulasi kecenderungan konsumen, codingan dan expert system untuk analisa suatu masalah”. Paradigma apa yang bisa dirasakan? Atau paradigma apa yang ada di hadapan kita? sedikit bingung dan kaku saat bertatapan dengan layar monitor dengan tampilan putih bersih yang dulu sangat mudah untuk membuat persepsi otak kita tertata rapi dalam tulisan blog. Namun kini seakan ini menjadi sebuah hal yang sangat sulit sekali untuk dilakukan dan entah apa yang terpikir dengan ide di kepala yang mampet serta tak kunjung lancar menelurkan kata demi kata yang akan terukir mulus di layar monitor blog nanti. Tapi akhirnya dengan ide seadanya 30 tulisan ini muncul sebagai ilham dari ideologi otak linglung yang meluncur bagai air mancur..cur..cur.


Sedikit lega perasaan ini setelah melalui begitu banyak proses yang berjalan beberapa waktu yang lalu; mulai dari ‘dikejar’ Homework Assignment hingga kehilangan codingan praktikum dan berujung dengan presentasi website yang melelahkan; dimana saya diharuskan membuka kelopak mata ini selama 72 jam atau 3 hari penuh untuk menyelesaikan seluruh tugas yang sudah molor dalam pengerjaannya. Walaupun hasil penilaian belum saya ketahui, namun saya tetap bersyukur masih bisa mengerjakannya di sela-sela aktivitas saya, dan bersyukur mendapatkan karunia berada di kampus ITS dengan seluruh anak-anak yang imut untuk menemani keseluruhan kerja rodi menyelesaikan 10 (sepuluh) tugas dari 5 mata kuliah yang rutin setiap minggunya.


Setuju atau tidak dengan ungkapan “sahabat akan selalu ada dikala sahabatnya susah”, saya pribadi mengalami hal tersebut dimana ada sahabat-sahabat saya yang mendukung saya hingga saat ini. Namun ada juga yang meninggalkan dan bersuka cita sendiri namun itu saya anggap ujian saja, dimana pada akhirnya saya bisa menyelesaikan ini semua dengan senyum berkat orang-orang yang sangat mencintai dan menyayangi saya. Sesulit dan sepahit apapun cobaan pasti akan berlalu jika dikerjakan dengan serius dan ikhlas, rangkulan sahabat-sahabat terbaikmu akan membuatmu kokoh setiap saat hingga semua rintangan akan terasa lebih ringan.


Saya pernah mengalami pasang surut kehidupan. Naik di sisi tertinggi sebuah pencapaian selama 12 tahun berturut-turut dan berada di level rata-rata dalam 12 tahun selanjutnya. Tapi kesyukuran besar selalu muncul karena saat ini tak ada lagi masa SD dimana saya harus berjalan 4 kilometer membawakan sekeranjang besar bahan konveksi karena ga punya sepeda; tidak ada lagi masa SMP yang harus jualan plus bersepeda 10 kilometer menuju sekolah; dan kesemuanya itu dilanjutkan di masa SMA yang harus diisi dengan 2 kegiatan kombinasi SD dan SMP, dimana saya harus bersepeda 10 kilometer menuju sekolah dibarengi dengan jualan sate puyuh dan kertas bekas di waktu pagi dan jualan kue dan kartu lebaran di masa libur sekolah.


Masa kuliah mungkin jadi masa paling menyenangkan, pekerjaan saya dimasa itu tidak harus menghabiskan fisik yang begitu banyak. Tugas utama saya sebagai mahasiswa STAN hanyalah belajar dan dibarengi mengisi pelajaran sekolah untuk anak-anak SMP dan SMA dengan pendapatan 1 juta perbulan. Masa-masa sebagai PNS adalah yang paling menggembirakan karena semuanya lepas dari pundak. CPNS di 2006 dan diangkat tahun 2007 plus dapat kesempatan belajar di 2011. Jadi ada kesempatan besar untuk belajar lebih keras tapi otak mulai membeku menghafalkan semua aturan matematis dan kode pemrograman. Satu-satunya motivasi besar dalam perkuliahan sekarang adalah ILMU. Kata-kata yang sangat kental dibahas dalam wawancara dengan pihak Departemen Keuangan. Masih butuh dorongan baru untuk saat ini dan semoga semuanya berjalan sesuai dengan niat ikhlas untuk memperbaiki keadaan diri, meningkatkan kedewasaan dan awareness dengan kehidupan. 


Share



Karakter bangsa


JEMBER (SURYA Online) : Aksi pelemparan batu pada kereta api (KA) yang sedang berjalan masih saja terjadi di wilayah kerja PT KA Daerah Operasional (Daop) IX Jember. PT KA Daop IX mencatat selama tahun 2011 ini ada 45 kejadian pelemparan terhadap KA. “Dari 45 kejadian, 12 orang menjadi korban dan sejumlah korban mengalami luka cukup serius di kepala sehingga harus dirawat di rumah sakit,” ujar Humas PT KA Daop IX Jember Gatut Sutiyatmoko. Angka tersebut, kata Gatut, masih terbilang tinggi karena PT KA sendiri berharap tidak ada lagi aksi barbarisme seperti pelemparan batu tersebut. Pasalnya, aksi pelemparan batu itu merusak fisik KA juga mengganggu kenyamanan penumpang.


Sejumlah jalur yang rawan terjadi pelemparan batu antara lain jalur antara Stasiun Karangasem-Banyuwangi-Rogojampi, Stasiun Jember-Mangli, Stasiun Leces-Probolinggo-Bayeman. Gatut menambahkan, petugas sudah menangkap beberapa pelaku pelemparan. Sayangnya aksi penegakan hukum itu tidak membuat jera masyarakat. “Kami inginnya, setiap ada pelemparan pelakunya ditangkap dan diberi sanksi tegas agar jera. Karena aksi pelemparan batu selain merusak kereta api juga membahayakan keselamatan penumpang,” tukas Gatut.


Apa yang ada di benak Anda membaca tulisan diatas ?? Saya secara pribadi sangat khawatir dengan keselamatan saya dan berharap kejadian diatas tidak menimpa saya karena aksi pelemparan terhadap kereta juga pernah saya lihat dengan jelas selama menjalankan aktifitas pekerjaan di Jakarta. Untungnya saya berada di gerbong yang berbeda dengan lokasi pelemparan. Sesungguhnya fenomena pelemparan seperti ini bukan sekali dua kali saya temui, dan bukan hanya di kereta api darat di wilayah Jakarta. Bahkan, jika kita cermat memperhatikan kereta-kereta api lintas kota lintas propinsi, maka akan kita temukan kaca-kaca retak akibat lemparan, bahkan tak jarang jendela di gerbong tidak ada kacanya sama sekali. Ini adalah gejala yang mulai banyak terjadi, namun cenderung terabaikan. Namun yang jelas, ada yang salah dalam proses pembelajaran dan pembentukan karakter anak-anak yang gemar melempari batu tersebut. Anak-anak ini memeroleh kegembiraan dari sesuatu yang tak sepatutnya dilakukan, apalagi dirayakan.


Lalu, perhatikan lagi sebuah fenomena menarik ketika Tim Nasional Indonesia berlaga melawan Bahrain di Senayan pada 6 September 2011 lalu. Walau PSSI sudah menjaga ketat dan mewanti-wanti melalui berbagai media agar penonton tidak membawa petasan dan kembang api ke dalam stadion karena ancaman hukuman dari FIFA (Asosiasi Sepak Bola Internasional), toh masih lolos juga. Ledakan petasan membuat pertandingan sempat dihentikan oleh wasit. Bahkan, kejadian ledakan petasan sempat terjadi beberapa kali. Terutama ketika Indonesia dibobol kedua kalinya oleh Bahrain.


Dari semua itu, tidakkah ada sesuatu dalam psikologi bangsa ini? Kita merayakan kesenangan dan melampiaskan kekesalan dengan lemparan, ledakan, dan api. Semua itu menunjukkan ada sebuah kompleksitas dalam alam bawah sadar kolektif bangsa ini, yang kemudian memunculkan karakter semacam itu. Kita bahkan sudah tidak mengindahkan kepentingan umum, orang lain yang menjadi korban, atau efek yang lebih besar akibat tindakan kita merayakan atau melampiaskan sesuatu dari dalam diri tersebut. Itulah sebuah kekerasan dalam diri yang di saat-saat tertentu keluar dan menguasai kesadaran kita.

Dalam diri manusia, sebenarnya ada hasrat yang bisa menguasai manusia dan membuatnya bertindak tidak manusiawi. Manusia, pada dasarnya juga makhluk yang sama seperti hewan. Bahkan secara spesies, manusia tergolong mamalia karena sejumlah kesamaan pokok dengan hewan-hewan mamalia lain. Itu hal yang natur, alami, nyata, dan tak perlu ditutupi. Perbedaannya, manusia memiliki kebudayaan. Ia mampu mengubah yang natur menjadi kultur. Sebelum bicara akal budi sebagai pembeda manusia dan binatang, maka terlebih dahulu harus belajar budaya, atau ajaran budi itu sendiri. Tanpa itu, manusia tetap saja sama dengan binatang. Itulah sebabnya, kebudayaan menjadi aspek penting dalam konsep pendidikan yang digagas Ki Hadjar Dewantara. Masuk akal pula, jika sekian tahun lalu, Departemen Pendidikan disatukan dengan Kebudayaan, karena Kebudayaan memiliki kontribusi besar bagi pembentukan karakter, mengubah apa yang natur dalam diri manusia, menjadi kultur.


Saya melihat samar benang merah di sini. Dewasa ini, kita hanya memahami kebudayaan sebatas obyek pariwisata atau heritage. Hotel-hotel didirikan, situs-situs ditata dan dikomersialisasi sedemikian rupa, sampai berbagai artifak kebudayaan diperdagangkan baik secara gelap maupun terang-terangan. Lalu, ke mana nilai-nilai luhur yang selalu ada dalam setiap kebudayaan? Nampaknya nilai-nilai itu menguap entah kemana. Akibatnya, pendidikan hanya semata persoalan angka, status, dan selembar ijazah yang ditenteng untuk melamar kerja. Pendidikan itu sendiri, gagal mentransformasi yang terbaik dalam diri masing-masing individu yang sifatnya natur untuk dijadikan kultur.

Kita bisa menengok survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy pada sistem pendidikan di 12 negara Asia. Hasil survei menempatkan Indonesia dengan sistem pendidikan terburuk atau urutan ke 12. Lengkapnya adalah: 1) Korea Selatan; 2) Singapura; 3) Jepang; 4) Taiwan; 5) India; 6) China; 7) Malaysia;  Hong Kong; 9) Filipina; 10) Thailand; 11) Vietnam; 12) Indonesia. Pada tahun 2007, World Competitiveness Year Book melakukan survei dan menemukan hasil bahwa daya saing pendidikan Indonesia berada pada urutan 53 dari 55 negara yang disurvei. Sedangkan hasil survei UNDP tahun 2010 terhadap Human Development Index, posisi Indonesia berada di urutan ke 110 dari 169 negara yang disurvei.

Sepintas mungkin tidak mengagetkan, namun kejanggalan akan terasa jika kita mengontraskan dengan data bahwa pelajaran anak-anak sekolah di Indonesia bisa dikatakan lebih ‘maju’ dibandingkan dengan anak-anak di negara Barat. Misalnya, pelajaran yang pada anak-anak di Barat baru dikuasai ketika kelas 5 SD, maka di Indonesia anak kelas 3 SD sudah menguasai pelajaran tersebut. Artinya, ada sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Anak-anak ini dijejali materi pendidikan namun tak membuat potensi mereka berkembang menjadi sebuah daya saing.

Ketika kita bicara daya saing, maka tak akan bisa dilepaskan dari persoalan karakter. Tak heran kita lemah, karena persoalan pendidikan bukan membentuk apa yang natur menjadi kultur, melainkan persoalan mengejar angka dan menenteng ijazah untuk melamar kerja semata. Itu juga mengapa muncul persoalan semacam nyontek massal, siswa bunuh diri karena tak lulus UNAS, atau DPRD di kota metropolitan yang minta ujian nasional diulang karena siswa kotanya banyak yang tak lulus. Semua itu bicara tentang lemahnya pembentukan nilai luhur yang semestinya sudah ada dalam kebudayaan kita. Semua itu bicara tentang lepasnya kebudayaan untuk membangun karakter melalui pendidikan.

Kebudayaan, meliputi masyarakat, lingkungan hingga keluarga. Itulah komponen utama pendidikan karakter. Jika ditilik lebih jauh, Ki Hadjar Dewantara pernah mengemukakan konsep pendidikan among methode, yang bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) dan menggunakan keadaban budaya kita sendiri (cultuurhistorie) sebagai penunjuk jalan bagi perkembangan individu. Pada kongres Taman Siswa tahun 1930 dirumuskan Panca Dharma yang terdiri dari: (1) kodrat alam, (2) kemerdekaan, (3) kebudayaan, (4) kebangsaan, dan (5) kemanusiaan. Kelimanya adalah komponen utama pendidikan di Taman Siswa. Konsep itu mendasari bagaimana budaya lokal menjadi pijakan yang nantinya akan berjalan selaras dengan kebangsaan dan kapasitas untuk bersaing di tingkat internasional.

Saya kira, kita mampu untuk membuat sebuah pendidikan yang lebih baik. Sebuah pendidikan yang kembali pada ajaran budi pekerti. Semoga.
Share

wah....... telat,


Apakah ini anda ???

Pernahkah Anda menemukan orang-orang yang biasa datang terlambat, entah itu dalam sebuah rapat atau dalam sebuah pertemuan penting? Pernahkah Anda menjumpai orang yang terbiasa mengeluh, biasa gosip, biasa membicarakan keburukan orang lain, biasa manipulasi, biasa bohong, biasa menunda pekerjaan, biasa mengumbar janji, biasa melanggar aturan, biasa lari dari tanggung jawab, biasa mencari kambing hitam, biasa menyalahkan orang lain, biasa menyombongkan diri? Atau mungkin secara tidak sadar kita sendiri juga memiliki kebiasaan-kebiasaan tersebut dalam keseharian kita?


Saya teringat sebuah perumpaan yang diceritakan pada salah buku inspirasional, yang mengatakan bahwa di dalam tubuh kita sebenarnya ada dua “serigala”, yakni serigala yang baik dan serigala yang jahat. Kedua serigala ini selalu berbenturan dan tidak saling mendukung. Serigala baik selalu mengajar kita untuk menjaga perilaku, perkataan, kebiasan yang positif dan bernilai sementara serigala yang jahat selalu menggoda kita untuk menunda-nunda, malas, dan sesekali mengajak kita melanggar aturan. Pertanyaannya kepada kita adalah serigala mana yang akan lebih banyak kita beri makan? Dengan kata lain, serigala mana yang mau kita pelihara hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun? Ada pepatah yang mengatakan, “You are what you repeatedly do.” Anda adalah apa yang Anda lakukan berulang-ulang!!!


Bagaimana sampai terbentuknya sebuah kebiasaan?

Berawal dari sikap mental seseorang, bagaimana pola pikirnya akan suatu hal akan mempengaruhi tindakan dan perilakunya sehari-hari. Tindakan dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang, lambat laun akan menjadi sebuah kebiasaan. Contoh yang paling sederhana adalah membuang sampah. Jika seseorang menganggap membuang sampah sembarangan adalah hal yang lumrah, maka tindakan dan perilakunya akan masa bodoh jika ia membuang sampah sembarangan, sehingga perilaku ini sudah mendarah daging dan terbentuklah sebuah kebiasaan. Terkadang di perjalanan saya mengamati, bagaimana seseorang yang berada dalam mobil mewahnya, dengan santai membuka kaca dan membuang berlembar-lembar kertas tisu ke luar.


Contoh yang paling populer adalah kebiasaan terlambat atau ‘jam karet’. Mendapat undangan rapat jam 9, baru tiba jam 10, karena menganggap sudah biasa dan sudah menjadi tradisi di sini kalau undangan rapat pasti ‘ngaret’ jamnya. Jika seseorang memegang teguh nilai-nilai positif dalam hidupnya maka hal tersebut akan tercermin lewat sikap mentalnya sehingga mempengaruhi tindakannya sehari-hari. Akan tetapi jika nilai-nilai yang dipegang dalam hidupnya hanya egoisme, memikirkan perut sendiri, malas, tidak mau berusaha, selalu negatif kepada orang lain, maka saya khawatir tindakannya akan mengikuti nilai dan pola pikir yang dipelihara sehingga membentuk kebiasaan.


Kebiasaan yang positif tentu memiliki nilai manfaat yang positif bagi hidup kita dan orang lain, akan tetapi sebaliknya kebiasaan yang negatif tidak memberi nilai tambah untuk hidup kita dan orang di sekitar kita. Jika kita mau menjadi yang terbaik di bidang kita masing-masing, mulailah periksa selama ini kebiasaan seperti apa yang kita pelihara.


Aristoteles pernah berkata, “Excellence is not a singular act, but a HABIT“. Untuk menjadi yang terbaik atau unggul bukanlah tindakan satu kali, tetapi sebuah KEBIASAAN. Kita sama-sama memiliki 24 jam sehari, tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang. Akan tetapi terkadang kita bisa melihat banyak orang yang begitu produktif sementara ada orang-orang yang sama sekali tidak produktif dalam satu hari.


“Produktif” berarti dia melakukan sesuatu yang berarti dalam 24 jam, dia benar-benar mengelola waktunya dengan baik. Keseimbangan dalam hidupnya terjada. “Tidak produktif” berarti dia lebih banyak menghabiskan waktu 24 jamnya untuk hal yang tidak bernilai manfaat untuk dirinya dan orang lain. Tanyakan kepada diri kita masing-masing, selama 24 jam, mayoritas kita habiskan waktu kita untuk apa? Jika kita menjawab “bekerja“, maka pertanyaan selanjutnya adalah selama bekerja apa yang sudah kita lakukan? Apakah waktu bekerja kita lebih banyak bergosip ria, membicarakan orang lain, bermalas-malasan, lebih sering update status facebook/twitter daripada update pekerjaan kepada atasan, atau kita benar-benar memberikan yang terbaik waktu kita untuk pekerjaaan kita? Hanya pribadi masing-masing yang mengetahui persis jawabannya.


Banyak orang terkadang menyalahkan waktu, dan menganggap waktu yang diberikan kurang. Kita diberikan waktu yang sama, dan sudah adil. Yang membedakan adalah bagaimana seseorang mengisi waktunya selama 24 jam, itulah yang membuat seseorang menjadi unggul. Ada orang yang begitu semangat dan ingin cepat menyelesaikan tugasnya saat rapat, ada orang yang lebih memilih datang terlambat. Ada pribadi yang senantiasa bersyukur, adapula pribadi yang tidak pernah merasa puas dan selalu mengeluh hari demi hari. Ada sosok yang berani mempertanggungjawabkan kesalahannya, tapi ada juga pribadi yang biasa melarikan diri dari tanggung jawab dan mencari-cari alasan.


Bagaimana mengubah kebiasaan?

Yang terpenting ada kemauan untuk berubah, niat untuk kembali ke kebiasaan yang lebih positif. Sebuah buku yang pernah saya baca menyarankan kita untuk membuat “komitmen 21 hari“. Kita harus betul konsisten selama 21 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Jika kita pada hari ke sepuluh kita kembali ke kebiasaan lama kita, maka kita harus kembali mengulangnya dari hari pertama.


Dalam beberapa kali kesempatan seminar dan training saya selalu mengatakan, mengubah kebiasaan tentu tidak mudah, akan tetapi bukan berarti tidak bisa. Dibutuhkan sebuah kemauan keras dan komitmen yang keras untuk berubah. Jika kita memandang hidup ini penting untuk diisi dengan arti yang positif, maka mulailah mengubah kebiasaan dari sekarang.

First we form habits, then they form us. Conquer your bad habits or they will conquer you.”
Share

nggak konsen oy...


Lagi oot………………………………..


Sambil membuat seluruh tulisan dalam blog ini dan 2 blog lainnya yang menyajian resensi dan reportase, saya melakukan review kenapa begitu sulit untuk berkonsentrasi menyelesaikan semua tugas dari kampus dalam jangka yang lebih cepat?? Akhirnya saya menemukan analisa yang cukup mendasar tentang hal ini dari tulisan doktor Lucy Jo.

Ada banyak faktor yang membuat seseorang kehilangan konsentrasi saat bekerja. Mulai dari keberadaan media sosial, handphone, dan kondisi tubuh yang tidak fit seperti stres, lelah, lapar. Psikolog Lucy Jo Palladino, PhD, memaparkan solusinya :

Media Sosial
Sangat mudah sekarang seseorang untuk berhubungan dengan teman-temannya melalui website media sosial.Karena website itu bisa diakses setiap saat, maka keberadaannya bisa mengganggu konsentrasi kerja. Jika Anda tak mau terganggu oleh keinginan mengakses media sosial itu, lakukan aturan sendiri bahwa mengakses Facebook dan sejenisnya itu hanya dilakukan pada saat jam istirahat.


Surat Elektronik
Mungkin kita cukup intens menggunakan e-mail dalam lingkup pekerjaan kita. Namun tak selalu e-mail yang masuk harus dijawab segera setelah masuk karena hal ini akan memecah konsentrasi kerja kita. Agar tidak mengganggu konsentrasi kerja, sebaiknya jawab email pada waktu-waktu tertentu saja. Kecuali untuk kasus-kasus tertentu yang memang ditunggu.


Telepon Seluler
Saat ini, fasilitas komunikasi yang canggih membuat seseorang bisa menghubungi dan dihubungi kapan saja. Hanya saja kondisi itu bisa merusak konsentrasi kerja. Jika tidak ingin konsentrasi terpecah, sebaiknya jangan aktifkan nada panggil. Atau kecilkan dan aktifkan voicemail-nya.Lalu sediakan waktu untuk mengecek telepon masuk, misalnya ketika istirahat.


Multitasking (melakukan banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan).
Mungkin maksudnya untuk menghemat waktu. Tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa multitasking itu justru membuat pekerjaan berlangsung lebih lama. Tiga pekerjaan yang dikerjakan secara bersamaan, menurut penelitian, penyelesaiannya justru lebih lama dibandingkan menyelesaikannya satu demi satu. Untuk mengatasinya, gunakan skala prioritas.


Bosan
Saat mengerjakan pekerjaan yang membosankan, pikiran mudah teralihkan. Untuk mengatasi ini, berjanjilah untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam rentang waktu tertentu, dan apabila berhasil beri hadiah pada diri kita dengan cara istirahat sejenak / menikmati kopi / sekadar jalan kaki ke luar ruangan. Tugas yang membosankan akan mudah diselesaikan jika kita memiliki sesuatu yang dituju.


Pikiran yang mengganggu (urusan rumah tangga, dan lainnya)
Untuk mengatasi masalah ini, tuliskan semua urusan itu dalam buku atau kertas dan urut sebagai tugas yang nanti akan dikerjakan selepas kerja. Dengan cara seperti ini, beban di pikiran akan tercurahkan.


Stres
Banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan bisa membuat kita jadi stres. Untuk mengatasinya, pelajari teknis relaksasi seperti meditasi. Satu penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang ikut kursus meditasi selama 8 minggu ternyata sanggup meningkatkan kemampuan fokus mereka pada pekerjaannya dengan lebih baik.


Lelah
Rasa lelah membuat kita jadi sulit berkonsentrasi.Bahkan sebuah penelitian menunjukkan, seseorang yang kurang tidur bisa kehilangan perhatian dan daya ingatnya berkurang. Untuk mengatasinya, usahakan tidur 7-9 jam sehari.


Lapar
Otak kita sulit berkonsentrasi saat perut kita lapar.Rasa lapar ini merupakan pembunuh konsentrasi paling utama. Untuk mengatasinya, biasakan sarapan pagi, makan camilan kaya protein,hindari makanan berkarbohidrat sederhana seperti permen, dan pilihlah makanan berkabohidrat komplesk semisal gandum.


Depresi
Anda sulit berkonsentrasi, merasa kosong, tak punya harapan, atau merasa asing? Itu tandanya depresi. Bicaralah pada dokter, psikolog, atau konsultan, karena depresi sangat mungkin bisa diatasi.


Obat
Meminum obat sering kali memiliki efek samping berupa depresi. Bahkan obat depresi sekalipun bisa berdampak depresi pula jika metabolisme tubuh menolaknya! Oleh karena itu konsultasikan dengan dokter jika ada obat yang membuat Anda merasa depresi.


Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
ADHD selama ini dianggap penyakit anak-anak yaitu gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan sebagainya. Ternyata orang dewasa pun bisa mengidap ADHD ini seperti ditunjukkan dengan gejala sulit berkonsentrasi. Untuk mengatasinya, konsultasikan dengan dokter. Ada banyak cara untuk mengatasinya seperti terapi dan obat.


Share

sosialita........sosial di sekitar kita..


Setia kawin eh………….eh setia kawan (2)

Sambungannya ya…………………….
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.


Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.



Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut saya ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengkonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.


Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modern, menurut Hembing Wijayakusuma telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.


Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.


Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.


Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.

Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentuk penyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.

Delapan watak dunia sebenarnya sudah banyak disampaikan dalam wejangan-wejangan yang beredar di sepanjang langgem Jawa.


Pertama, watak bumi, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras.

Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.

“Wacana” kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan.


Kisah semut.....

Di sore hari yang mendung kala itu, ada segerombolan semut yang menempel di ubin tempat saya belajar. Pada saat itu saya tidak sengaja menginjak semut tersebut, merasa kaki sudah dikerumuni semut-semut akhirnya saya bersihkan kaki saya dari semua semut tersebut. Sepintas saya melihat ada seekor semut yang terkena injakan kaki saya, saya pun teringat apa yang di katakan oleh guru saya beberapa tahun yang lalu, bahwa semut adalah hewan yang tidak akan membiarkan temannya mati atau teraniaya di sembarang tempat. Maka pada saat itu saya pun mengamati gerak gerik dari semut yang lain terhadap semut yang terinjak kaki saya sebelumnya. Ternyata benar apa yang dikatakan guru saya. Perlahan-lahan teman-teman dari semut tersebut menghampiri semut yang terinjak kaki saya sebelumnya, mereka pun mempunyai gelagat untuk menolong temannya tersebut dan lama kelamaan semut yang sudah tidak berdaya dibawa ke suatu tempat oleh teman-temannya. Meskipun saya tidak tahu dibawa kemana semut yang sudah tidak berdaya tadi, tapi saya memperoleh suatu pelajaran berharga dari hewan kecil ini yaitu nilai-nilai kesetiakawanan social yang ada antara sesama semut tersebut.


Alangkah indahnya jika manusia mau berpikir bahwa di dunia ini mereka tidak akan mampu untuk hidup sendiri. Berbagi itu menyenangkan, bersahabat itu mengasykkan. Kalau bisa hidup berdampingan kenapa harus hidup terpisah, kalau bisa hidup damai kenapa harus hidup dalam kerusuhan ? Kalau bisa berbahagia kenapa terus memendam kesedihan sendirian ?? Berbagilah kini dan nanti…Allah Maha Kaya kok...... pasti diganti dengan yang lebih baik....

Share

ideologi serigala..................



Setia kawin eh………….eh setia kawan (1)

Alkisah di suatu senja, terlihat seorang pemburu memasuki hutan untuk berburu sekawanan rusa. Terlihat dia seorang pemburu yang sudah kawakan, sehingga dengan mudahnya dia langsung memahami pergerakan beberapa buruan dan langsung saja memahami seluk beluk hutan tersebut.

Tanpa disengaja, dilihatnya seekor serigala betina yang sedang menyantap daging kelinci, dengan seketika diarahkan laras senapannya ke serigala betina tersebut dan doorrrrr…….dengan sekejap serigala tersebut jatuh sambil menahan sakit.

Beberapa serigala dari kejauhan tampak berlari mendekati serigala yang tertembak tadi, salah seekor serigala menjilati luka tembak si serigala betina, sedangkan yang lain terlihat didekatnya menjagainya.


Sang pemburu yang melihat dari kejauhan tampak kagum dengan kerjasama yang diperlihatkan sekelompok serigala tersebut, dan dengan rasa penasaran diperhatikannya tingkah laku sekelompok serigala tersebut. Apakah kelompok serigala tersebut tetap menjaga serigala betina tersebut ataukah meninggalkannya?


Ternyata mereka tetap kompak menjaga sang serigala betina yang masih terlihat kesakitan, walaupun malam sudah datang, bahkan sekelompok serigala tersebut seperti tahu tugas mereka masing-masing, ada yang bertugas menjaga, ada yang mencari makanan untuk si serigala betina, dan yang menjilati luka si serigala betina. Sang pemburu pun mendapatkan pelajaran yang berharga dari sekelompok serigala tersebut, yaitu saling menolong dan rasa kesetiakawanan yang luar biasa, yang ditunjukkan mereka kepada serigala betina.


Belakangan ini sejak krisis ekonomi menjatuhkan perekonomian kita dan tantangan hidup makin merajalela, sikap egois dan penghianatan sering sekali kita jumpai di negara ini. Namun apakah dengan sikap seperti ini dapat menghilangkan semua masalah? Tentu saja tidak, malah sikap kesetiakawanan yang murni yang ditunjukkan oleh sekelompok serigala, sangat dibutuhkan untuk menjadi kita menjadi satu keluarga. Ingat !! dengan kebersamaan dan kesetiakawananlah, maka kita bisa berjalan menjadi negara yang kuat dan individu yang bijaksana.

Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.


Peristiwa 10 November 1945, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat nasionalisme dan Allahu Akbar, rasa setia kawan menjelma dan bernaung dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.

Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.

Di penghujung tahun 1997, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji “akting” sosial kita terhadap para korban. Keluarga sayapun merasakan beratnya hidup ketika kebangkrutan menimpa di masa itu.
Bersambung ya……………………………………………………

Share